Polusi udara dan dampaknya terhadap kesehatan mental

Deeptalk.co.id – Saat ini kita telah hidup berdampingan dengan polusi udara. Terutama bagi yang tinggal di kota-kota besar, polusi udara sudah menjadi makanan sehari-hari. Baik dari asap kendaraan, pabrik hingga asap rokok.

 

Termasuk di Ibukota Indonesia, yakni DKI Jakarta yang semakin hari memiliki kualitas udara yang semakin buruk. Hal ini didukung oleh data dari CNBC Indonesia bahwa Jakarta menjadi kota pertama dengan kualitas udara terburuk di seluruh dunia, tepatnya pada bulan Juni 2022 lalu. Tepatnya berkisar pada angka 78,5 µg/m³, dengan konsentrasi PNM 2.5 atau partikel udara berukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer.

 

Bahkan, kualitas udara Jakarta mencapai 15.7 kali di atas nilai panduan kualitas udara tahunan WHO. Berdasarkan laporan terkait Air Quality Life Index (AQLI) yang diterbitkan oleh Energy Policy Institute di University of Chicago (EPIC) pada 14 Juni 2022, polusi udara diperkirakan dapat mengurangi harapan hidup masyarakat di wilayah Jakarta hingga 3 sampai 4 tahun.

 

Buruknya kondisi udara dengan penuh polusi tersebut pun mendorong banyak penelitian terhadap dampaknya bagi manusia. Termasuk penelitian yang telah meneliti adanya kandungan berbahaya pada asap-asap ini. Kandungan kimia dalam jumlah tertentu di udara atmosfer, mengandung polutan dalam ukuran mikroskopis yang bisa masuk menyelinap dalam tubuh manusia.

 

Umumnya polusi udara memberikan efek negatif bagi kesehatan paru-paru. Atau ada juga yang menyebutkan asap-asap berbahaya ini juga berdampak pada kesehatan jantung bahkan otak. Namun, ternyata polusi udara yang berbahaya ini bisa menyebabkan efek buruk bagi kesehatan mental seseorang.

 

Polusi udara dan dampaknya terhadap kesehatan mental

Polusi udara dan dampaknya terhadap kesehatan mental (cr : News Medical)

 

Dampak Polusi Udara Bagi Kesehatan Mental

 

Sudah banyak penelitian yang mengungkapkan bahaya polusi udara terhadap risiko kesehatan secara fisik. Terutama paling banyak yakni pada jantung dan paru-paru.

 

Ada juga penelitian yang menyebutkan bahwa orang yang menghirup tingkat polusi udara yang lebih tinggi memiliki kemungkinan berisiko lebih tinggi juga terhadap kondisi otak. Diantaranya seperti penyakit Alzheimer, pengambilan keputusan yang lebih buruk, hingga depresi.

 

Kemudian baru-baru ini ada salah satu studi terbesar yang berfokus pada hubungan antara beberapa bentuk polusi udara dan risiko perkembangan depresi di usia lanjut. Hingga akhirnya mereka menemukan jawaban dan hasil yang cukup memprihatinkan.

 

Makalah tersebut diterbitkan pada bulan Februari di JAMA Network Open dengan melacak hampir 9 juta pasien Medicare di Amerika Serikat. Sehingga peserta penelitian ini setidaknya berusia 64 tahun pada saat mereka memulai penelitian (usia rata-rata sekitar 74) dengan populasi adalah 57% perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara polusi udara dengan risiko pengembangan depresi di tahun-tahun berikutnya.

 

Pada studi kohort ini, para peneliti memplot paparan orang-orang yang ditentukan secara geografis terhadap tiga polutan terpisah. Yakni meliputi PM2.5, Nitrogen dioksida, dan ozon. Dari ketiga polutan tersebut kemudian diamati siapa saja yang terdiagnosis depresi. Kemudian, untuk meminimalkan kemungkinan depresi seseorang adalah dari masalah yang sudah ada sebelumnya, mereka tidak mulai melacak kasus depresi baru sampai lima tahun setelah orang memulai penelitian.

 

Hingga akhir penelitian, mereka menemukan bahwa ketiga bentuk polusi udara secara individu dan kombinasi berkorelasi dengan peningkatan risiko depresi. Selain itu, di antara tiga polutan udara, tingkat paparan ozon yang lebih tinggi memiliki kaitan terkuat untuk mengembangkan depresi akhir kehidupan.

 

Baca juga : Kesehatan Mental Laki-Laki Lebih Rentan Dibandingkan Perempuan

 

Studi ini mungkin bukan yang pertama kali menunjukkan adanya hubungan antara polusi udara dengan kesehatan mental seseorang. Namun yang membedakan penelitian ini dengan sebelumnya ialah ukuran sampel yang digunakan lebih besar dan adanya kategorisasi yang berbeda dari efek ketiga jenis polutan yang berbeda pula membuat penelitian ini relatif unik.

 

Perlu dicatat juga bahwa para ilmuwan tidak sepenuhnya yakin dengan mekanisme biologis yang menghubungkan depresi dan polusi udara. Tetapi, mereka berpendapat bahwa aktivasi jalur inflamasi di otak menjadi kemungkinan utama.

 

Selain itu, ada juga peradangan yang pernah dianggap lebih akut daripada ancaman kronis. Dalam beberapa tahun terakhir muncul sebagai pemicu potensial dari berbagai macam kondisi neurologis dan psikologis. Di dalam otak diperkirakan bahwa peradangan dapat menyebabkan sejumlah efek merusak. Termasuk masalah dengan neuron kesehatan serta aktivasi sel kekebalan yang tidak sehat yang disebut “mikroglia”.

 

Di luar peradangan, para peneliti dalam studi JAMA Network juga menunjukkan perlunya menyelidiki lebih lanjut mengenai bagaimana jalur tambahan yang melibatkan epigenetik yang juga dapat berperan. Mereka juga menyoroti pentingnya mempertimbangkan bagaimana polusi udara dapat mempengaruhi secara tidak proporsional orang dengan status sosial ekonomi rendah. Implikasi skala yang lebih besar dari makalah ini menunjukkan pentingnya mengintegrasikan penelitian tentang iklim, kesehatan mental, dan faktor sosial ekonomi dalam kebijakan dan penelitian yang bergerak maju.

 

 

 

 

Sumber :

https://www.psychologytoday.com/intl/blog/the-modern-brain/202302/new-study-strengthens-link-between-air-pollution-depression

Denounce with righteous indignation and dislike men who are beguiled and demoralized by the charms pleasure moment so blinded desire that they cannot foresee the pain and trouble.
0

No products in the cart.