Deeptalk.co.id – Banyaknya aktivitas yang harus dikerjakan dirumah membuat seorang ibu bisa mengalami kelelahan. Bahkan jika ditambah harus mengurus anak beserta mencukupi kebutuhannya. Kondisi kelelahan yang mereka hadapi bisa berujung pada kondisi parental burnout.
Mereka terpaksa memutar otak agar bisa mengerjakan semuanya secara multitasking. Selain fisik, mental mereka juga akan merasa lelah akibat kurangnya istirahat, ketenangan, hingga melupakan kebutuhan pribadinya. Tak heran jika para ibu yang juga mengasuh di rumah bisa mengalami burnout.
Oleh Rionda dalam International Journal of Environmental Research and Public Health, burnout diartikan sebagai suatu sindrom yang dikarakteristikan dengan adanya perasaan lelah secara emosi, depersonalisasi, dan berkurangnya pemenuhan diri sebagai akibat dari paparan kronis terhadap lingkungan yang menguras diri.
Pada tahun 2019, Organisasi Kesehatan Dunia mengakui sindrom kelelahan dalam Klasifikasi Penyakit Internasionalnya sebagai kondisi kerja yang terkait dengan beberapa gejala kesehatan, seperti kelelahan, perubahan kebiasaan tidur, dan penggunaan zat.
Tentang Parental Burnout
Pada beberapa kasus, burnout akan diidentikkan dengan kondisi yang dialami oleh pekerja, terutama pekerjaan dengan jenis yang membantu banyak orang. Diantaranya seperti perawat kesehatan, atau yang memiliki tekanan tinggi, seperti di bidang hukum dan keuangan. Namun saat ini sudah semakin banyak penelitian yang menunjukkan bahwa burnout juga dapat terjadi dalam peran lain, terutama dengan tekanan menjalani kehidupan yang tengah dihadapi.
Baca juga : Waspadai Burnout yang Dapat Mengganggu Produktivitas
Hingga muncul penelitian pertama mengenai burnout yang terjadi pada orang tua yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1980-an. Penelitian tersebut berfokus pada orang tua dari anak-anak penderita tumor. Selain itu terdapat juga penelitian terbaru, tepatnya pada tahun 2018 oleh Roskam dkk yang mengasumsikan situasi parah seperti anak yang sakit, dapat menyebabkan burnout dan setiap orang tua dapat mengalaminya.
Pada penelitian tersebut, Roskam dan rekan-rekannya mengembangkan pengukuran yang disebut Penilaian Kejenuhan Orang Tua setelah mensurvei lebih dari 900 orang tua yang mereka tentukan mengalami kejenuhan. Dari kesaksian subjek ini, para peneliti mengekstraksi empat dimensi kelelahan orang tua: kelelahan dalam peran orang tua, kontras dengan diri orang tua sebelumnya, perasaan muak dengan peran orang tua, dan jarak emosional dari anak-anak.
Penelitian Roskam menyebutkan situasi parah yang dihadapi orang tua dapat menyebabkan mereka mengalami burnout. Termasuk kala pandemi Covid-19 yang membuat perubahan terjadi dalam kehidupan. Pun kegiatan dirumah yang dilakukan oleh orang tua asuh, dimana mereka harus menjadi ekstra sibuk disaat masa semuanya serba online.
Penelitian oleh psikolog di University of Melbourne mengkonfirmasi temuan tersebut dalam studi mereka sendiri. Semua peserta melaporkan tingkat tekanan mental yang lebih tinggi selama pandemi. Akan tetapi, orang tua yang memiliki anak usia sekolah melaporkan tingkat kelelahan atau burnout yang jauh lebih tinggi.
Menurut Roskam, terdapat satu komponen konsisten di antara semua orang tua yang melaporkan kelelahan, sebelum dan selama pandemi. Ia berpendapat bahwa kelelahan adalah akibat dari terlalu banyak stres dan tidak adanya sumber daya untuk mengatasinya. Seseorang akan burnout hanya jika terjadi ketidakseimbangan antara stres dan sumber daya.
Baca juga : Burnout vs. Depresi, Apa Perbedaannya?
Mengenali Parental Burnout
The Parental Burnout Assessment menangkap gejala utama burnout yang biasanya terjadi secara bertahap.
Pada tahap pertama merupakan kelelahan yang luar biasa. Namun hal ini bergantung pada usia anak, sehingga orang tua kemungkinan mengalami berbagai jenis kelelahan. Misal, orang tua dari anak kecil akan cenderung lebih lelah secara fisik dibandingkan dengan yang memiliki anak remaja akan mengalami kelelahan emosional karena konflik dengan anak mereka.
Kemudian pada tahap selanjutnya, orang tua yang mengalami burnout akan menjauhkan diri dari anak-anak mereka untuk menghemat energi. Mereka merasa tidak bisa tahan untuk berdekatan dengan anak-anaknya, meskipun mereka menyayangi anaknya.
Hingga kemudian fase ini diikuti fase ketiga ketika orang tua menyadari hilangnya kepuasan untuk mengasuh anak. Bahkan tak jarang mereka yang telah menghadapi burnout fase ini akan mengatakan enggan menjadi orang tua lagi.
Banyak orang tua yang berfokus pada pengasuhan anak dan homeschooling di siang hari, mengalihkan pekerjaan mereka ke malam hari dan. Akibatnya mereka menjadi lebih mudah tersinggung dan stres keesokan harinya.
Biasanya, orang tua yang kelelahan hadir dengan stres kronis tentang bagaimana mereka akan menyelesaikan semuanya. Pikiran-pikiran itu pun bisa mengganggu waktu tidur mereka, yang memperburuk kecemasan hingga membuat orang tua menjadi cepat marah. Kemudian kondisi tersebut akan menjadi lingkaran setan dengan perilaku yang berulang-ulang setiap harinya.
Sumber :
https://www.apa.org/monitor/2021/10/cover-parental-burnout
https://www.nytimes.com/2022/05/05/well/family/parental-burnout-symptoms.amp.html