Deeptalk.co.id – Saat ini gen z memang sedang mendominasi sebagai generasi dengan usia produktif. Gen z sendiri adalah individu yang lahir pada tahun 1990-an hingga pertengahan 2000-an. Dengan demikian, gen z di era sekarang ini memang sedang membangun kehidupan mereka, baik dalam karir, keluarga, dan masih banyak lagi.
Gen z lahir dan tumbuh di masa teknologi sedang berkembang pesat. Maka tidak heran jika pada gen z cukup mudah beradaptasi dengan kemajuan zaman dibandingkan generasi sebelumnya. Gen z juga dikenal sebagai generasi yang cerdas dan mudah untuk beradaptasi. Mereka cukup tenang dalam menghadapi perubahan zaman, dan memiliki semangat yang kuat.
Banyaknya keuntungan menjadi gen z tidak bisa menuntut kemungkinan bahwa generasi tersebut tetap memiliki cela. Tahukah kamu bahwa gen z adalah generasi yang rentan mengalami duck syndrome, yaitu kondisi dimana seseorang tampak tenang, namun menyimpan stress atau tekanan berlebih di dalam diri mereka.
Kabar buruknya, tidak semua gen z dengan duck syndrome sadar akan kondisi tersebut. Walaupun dibekali pengetahuan yang melimpah, masih banyak gen z yang tidak begitu paham akan kondisi psikologisnya sendiri. Maka dari itu, artikel kali ini akan secara khusus membahas mengenai alasan mengapa gen z rentan mengalami duck syndrome.
Sebelum kita masuk pada topik pembahasan utamanya, perlu diketahui bahwa artikel ini dibuat sebagai bahan edukasi, dan tidak untuk dijadikan patokan self diagnosis. Jika kamu atau orang terdekat mengalami beberapa kondisi seperti yang dipaparkan dalam artikel ini, jangan ragu untuk melakukan konsultasi dan pemeriksaan lebih lanjut dengan psikolog atau psikiater. Dengan begitu kamu bisa mendapatkan diagnosa dan penanganan yang tepat.
Istilah duck syndrome sendiri berasal dari seekor bebek yang berenang. Saat berenang, bebek akan tampak tenang di permukaan. Namun tanpa terlihat, kaki bebek di bawah air justru terus bergerak. Kondisi tersebut sama halnya dengan penderita duck syndrome yang tampak tenang di permukaan, namun tidak dalam diri mereka.
Gen z memang cenderung mengalami duck syndrome. Banyak gen z yang berusaha untuk menyembunyikan kekurangan mereka, dan selalu tampil baik-baik saja. Lantas, apa sebenarnya yang membuat gen z seperti itu? Berikut beberapa faktor yang memicu duck syndrome pada gen z:
Budaya Kompetitif
Gen z tumbuh di era perkembangan teknologi. Pada era tersebut semua orang seakan berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik. Dengan demikian, para gen z cenderung lebih kompetitif, baik di sekolah, perguruan tinggi, bahkan di dunia pekerjaan.
Jiwa kompetitif yang dimiliki gen z membuat mereka seakan tidak ingin tampak memiliki kekurangan. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa setiap orang pasti memiliki kekurangan. Dengan demikian, banyak gen z yang selalu tampak baik-baik saja, walau terkadang sedang dalam tekanan yang berat, atau dalam artikel ini kita kenal dengan istilah duck syndrome.
Pengaruh Media Sosial
Berbeda dengan generasi sebelumnya yang tidak begitu familiar akan media sosial, gen z justru tumbuh seiring maraknya penggunaan media sosial. Walaupun media sosial memberikan cukup banyak dampak positif, namun kenyataannya tidak semuanya positif.
Orang-orang di media sosial selalu menampakan pencapaian, kesuksesan, dan segala keberhasilan yang mereka miliki. Hal tersebut membuat para gen z ingin terus menerus membangun citra positif. Tidak heran jika melihat gen z selalu bersaing sesama mereka untuk menjadi yang terbaik. Walaupun itu hal yang benar, namun menjadi tidak benar jika mereka justru menyimpan stress di dalam dirinya.
Baca juga: Cara Menjaga Kesehatan Mental Untuk Ibu Pekerja
Tuntutan Pekerjaan
Sebagian besar gen z memang sudah memasuki usia bekerja. Sayangnya, tidak semua tempat kerja memiliki lingkungan positif. Banyak tempat kerja yang memberikan tuntutan berlebih bagi pekerjanya. Tuntutan pekerjaan inilah yang bisa membuat para gen z mengalami duck syndrome.
Walaupun setiap orang tentunya memiliki respon yang berbeda-beda dalam menghadapi tuntutan pekerjaan. Namun pada sebagian besar gen z, tuntutan kerja justru menjadi ajang untuk mereka menampilkan kemampuannya. Dengan demikian, mereka sebisa mungkin menutupi kekurangan, atau kita kenal dengan istilah duck syndrome.
Ekspektasi yang Terlalu Tinggi
Hidup di era perkembangan zaman memang membuat kita lebih mudah mengakses sesuatu. Namun hal tersebut juga membuat kita memiliki ekspektasi tinggi terhadap banyak hal. Misalnya melihat kebahagiaan orang lain di media sosial, dan berharap ingin di posisi itu.
Banyak gen z yang ingin menampilkan sisi positif dirinya agar bisa tampak bahagia di mata orang lain. Walaupun mereka tidak benar-benar bahagia, namun setidaknya orang bisa melihat mereka seakan bahagia.
Itu dia beberapa faktor yang bisa saja memicu kondisi duck syndrome, khususnya pada gen z. Duck syndrome memang tidak termasuk dalam kategori gangguan mental. Namun kondisi tersebut bisa memicu berbagai gangguan mental yang lebih serius. Maka dari itu, tidak ada salahnya untuk mendapatkan pertolongan dari para profesional.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat.
Baca juga: Tips Menjaga Kewarasan Untuk Ibu Rumah Tangga
MEMBUTUHKAN KONSULTAN KESEHATAN MENTAL UNTUK INDIVIDU ATAU PERUSAHAAN? KAMI PUNYA SOLUSI MENYELURUH MASALAH MENTAL HEALTH.
HUBUNGI KAMI MELALUI KONTAK DIBAWAH INI:
DeepTalk by Logos Indonesia: Biro Psikologi & Konsultan HRD
Layanan:
1. Rekrutmen & Asemen Karyawan
2. Konsultansi MSDM
3. Training & Development by @logosinstituteofficial
4. Outbound
5. Konseling Online Berbasis Android & iOS by @deeptalkindonesia
6. Klinik Konsultasi Psikologi & Tumbuh Kembang Anak by @deepgrowindonesia
7. Layanan Psikologi Pendidikan by EduQuotient
.
Hubungi kami (Bisa Langsung Klink Nomor Dibawah Ini):
Rekrutmen, Asemen & Konsultansi MSDM: 0811-1744-456
Training & Outbound : 0811-1075-456
Klinik Psikologi, Konseling & Tumbuh Kembang Anak: 0811-1814-456
EduQuotient (Psi. Pendidikan): 0811-1157-456
Email : admin@logosconsulting.co.id
.
Follow Kami:
Logos Indonesia : @logosindonesiaofficial
Logos Institute : @logosinstituteofficial
DeepTalk Indonesia : @deeptalkindonesia
DeepGrow Indonesia : @deepgrowindonesia